BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah Sebuah organisasi mempunyai
budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda antara satu organisasi
dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang sesuai dengan
anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang anggota
baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus
dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut. Budaya
organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan
lama. Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung
organisasi itu. Ada budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Maksudnya tidak dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih
ditakutkan lagi organisasi itu tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan
perkembangan zaman karena dia merasa paling benar. Dalam keadaan inilah anggota
tidak akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang banyak faktor lain yang
menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi faktor budaya organisasi
merupakan faktor yang utama. Meski telah disadari bahwa budaya organisasi
bersifat dinamik dan pluralistic, perdebatan tentang apakah budaya organisasi
dapat di-manage dan dikendalikan masih terjadi. Pandangan pertama yang diwakili
oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan
dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa budaya organisasi
merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang pada dataran
yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah budaya
organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana alam bawah
sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan konsekuensi
yang tidak diinginkan. Pandangan kedua menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
di-manage dan dikendalikan. Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu pendapat bahwa perubahan budaya organisasi sangat bergantung kemauan para
eksekutif dan pendapat yang mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan
jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang
memungkinkan terjadinya perubahan budaya organisasi. Sementara ada pandangan
yang lebihmoderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan
yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan
dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan
dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi
lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi,
pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi ?
2. Bagaimana asal muasal budaya organisasi ?
3. Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
4. Bagaimanakah menciptakan budaya organisasi yang
etis ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian budaya organisasi.
2. Menjelaskan asal muasal budaya organisasi.
3. Mengetahui karakteristik budaya organisasi.
4. Mengetahui bagaimana menciptakan budaya organisasi
yang etis.
D. Manfaat
Penulisan Makalah ini disusun dengan
harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara
teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep mata kuliah
Interpersonal Employee Relation khususnya materi “Budaya Organisasi” dan secara
praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Penulis, sebagai wahana meningkatkan
pengetahuan dan konsep keilmuan, khususnya tentang materi Budaya Organisasi.
2. Pembaca, sebagai media informasi
mata kuliah Interpersonal Relation khususnya mengenai Budaya Organisasi.
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam
penulisan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis menguraikan
permasalahan yang dibahas secara explanation atau penjelasan yang komperhensif.
Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka,
artinya penulis mengambil data melalui media pustaka dalam penyusunan makalah
ini dan ditambah referensi dari media internet. Penulis mencantumkan berbagai
sumber untuk penulisan makalah ini, selain itu juga penulis menggunakan metode
kepustakaan untuk mendapatkan data yang mendukung penyusunan makalah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Budaya Organisasi
Pengaruh budaya organisasi terhadap
perilaku organisasi sangat signifikan. Karena itu menciptakan busaya organisasi
yang sifatnya unik untuk setiap organisasi amatlah penting. Untuk itu perlu
dipahami apa budaya organisasi itu. Budaya organisasi memiliki makna yang luas.
Walter R. Freytag mendefinisikan budaya organisasi sebagai “a distint and
shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds
organizational members together and prescribes appropriate patters of
behavior.” Freytag menitik beratkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang
disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi.
Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam
organisasi. Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan
budaya organisasi sebagai “the sum total of shared values, symbols, meaning,
beliefs, assumption, and expectations that organize and integrate a group of
people who work together.” Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah
disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi adalah totalitas
nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu
kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama. Menurut Lathans (1998), budaya
organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku
anggota organisasi. Setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan
budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995)
mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu system nilai, kepercayaan dan
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur
system formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sebagai
suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan
harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi
merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value) organisasi yang dipahami,
dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti
tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar
yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu,
dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi
masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan
merasakan berkanaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Mondy dan Noe
(1996), budaya organisasi adalah system dari shared values, keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi
juga mencakup nilai-nilai dan standar- standar yang mengarahkan perilaku
organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Sedangkan Hodge,
Anthony dan Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi (corporate culture)
sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik
organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable).
Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi
seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa,
dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada level unobservable
budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, asumsi-asumsi,
kepercayaan para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan
disekitarnya. Budaya perusahaan juga dianggap sebagai alat untuk menentukan
arah organisasi, megarahkan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh
dilakukan, serta bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya
perusahaan, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari
lingkungan. Dari sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya organisasi
memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas
kinerja organisasi, khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai
alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola
sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan
peluang dari lingkungan internal dan eksternal. Menurut Susanto, “Budaya
organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sember daya manusia untuk
menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam
perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai
yang ada dan bagaimana mereka harus bertingkah laku atau berperilaku.” Menurut
Robbins, “Budaya organisasi adalah suatu system makna bersama yang dianut oelh
anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan yang lain. “ Menurut
Gareth R. Jones, “Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut
oleh anggota-anggota organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya
organisasi itu adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu
menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. Dari semua
pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan
nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota
organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi
B.
Asal Muasal Budaya Organisasi
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam
melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil
atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan
yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada sumber tertinggi
budaya sebuah organisasi: para pendirinya. Secara tradisional, pendiri
organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut.
Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi
sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh
memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara:
Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka.
Kedua, pendiri melakukan
indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada
karyawan.
Terakhir, perilaku pendiri sendiri
bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi
diri. Dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri
tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang
sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh
kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
C.
Karakteristik Budaya Organisasi
Adanya budaya organisasi
sesungguhnya tumbuh karna diciptakan dan dikembangkan oleh individu-individu
yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang
harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai
tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada
dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap sebagai Ciri khas yang
membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya. Antonius dan Antonina
mengatakan mengenai karakteristik dan dimensi nilai yang terkandung dalam
budaya organisasi yaitu :
1. Orientasi Hasil.
2. Orientasi Orang.
3. Orientasi Tim.
4. Keagresifan.
5. Kemantapan/stabilitas,
6. Inovasi dan keberanian mengambil
resiko.
7. Perhatian pada hal-hal yang lebi
rinci.
Dalam teori diatas dijelaskan bahwa
sebuah organisasi dapat memiliki karakteristik yang terkandung dalam budaya
organisasinya. Sejauh mana organisasi berfokus kepada hasil, dan bukan hanya
pada proses, melihat sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil
pada individu di dalam organisasi itu. Kemudian sejauh mana kegiatan kerja di
organisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, melihat sejauh mana
karyawan itu agresif dan kompetitif, bukannya santai-santai, sejauh mana
kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari
pertumbuhan, lalu sejauh mana karyawan berani berinovasi dan menghadapi resiko
pekerjaan. Sampai pada akhirnya sejauh mana karyawan mencermati pekerjaan lebih
presisi dan memfokuskan pada hal-hal yang lebih rinci. Diperkuat dengan
pendapat Robbins dan Judge bahwa Kultur Organisasi mengacu kepada sebuah system
makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lainnya. System makna bersama ini, bila diceermati secara
lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh
organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang,
secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi.
1. Innovation and Risk Taking
(Inovasi dan pengambilan resiko), suatu tingkatan dimana pekerja didorong untuk
menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Attention to Detail (Perhatian
pada hal-hal detail), dimana pekerja diharapkan menunjukkan ketepatan,
analisis, dan perhatian pada hal detail.
3. Outcome Orientation (Orientasi
pada manfaat), dimana menajemen memfokus pada hasil atau manfaat daripada
sekadar pada teknik dan proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat
tersebut.
4. People Orientation (Orientasi pada orang),
di mana keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang
dalam organisasi.
5. Team Orientation (Orientasi pada
tim), dimana aktivitas kerja di organisasi berdasar tim daripada individual.
6. Aggresiveness (Agresivitas),
dimana orang cenderung lebih agresif dan kompetitif daripada easygoing.
7. Stability (Stabilitas), dimana
aktivitas organisasional menekankan pada menjaga status quo sebagai lawan dari
perkembangan.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu
inovasi dan pengambilan resiko, perhatian pada detail, orientasi hasil,
orientasi kepada para individu, orientasi kepada tim, keagresifan, serta
stabilitas.
D.
Menciptakan Budaya Organisasi
Yang Etis Isu dan kekuatan suatu
kultur mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para
anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk
membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap
risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada
sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk
mengambil resiko dan berani berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang
tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan
juga pada tujuan apa yang akan dicapai. Manajemen yang dapat dilakukan untuk
menciptakan kultur yang lebih etis dapat dilakukan dengan praktik-praktik:
1. Menjadi model peran yang visibel. Karyawan akan
melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan
perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap
mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua karyawan.
2. Mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis.
Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan
kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama
organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para
karyawan.
3. Memberikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar.
Lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini
untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang
diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata memberikan penghargaan atas tindakan
etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja
terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana
keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik organisasi. Penilaian harus
mencakup sarana yang dipakai untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan
itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas
atas perilaku mereka. Sama pentingnya, tindakan tidak etis harus diganjar
secara terbuka/nyata.
5. Memberikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu
memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema
etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi
pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Studi Kasus
Sejalan dengan makin meningkatnya
merger dan akuisisi, membuktikan bahwa menggabungkan dua budaya organisasi yang
berbeda bukanlah pekerjaan yang mudah. Juga, banyak keuntungan yang diharapkan
dari merger tersebut tidak terealisasi karena budaya organisasi dan Sumber Daya
Manusia yang berbeda. Menurut suatu perkiraan secara nasional, 70% dari semua
kombinasi tidak mencapai sasaran keuangan yang telah ditetapkan dan hanya 15%
mencapai sasaran keuangan mereka. Satu contoh dari industri pelayanan kesehatan
mengilustrasikan permasalahannya. Dua organisasi pelayanan kesehatan yang
besar, kedua-duanya berpusat di California Selatan, telah terlibat dalam
persaingan yang ketat. Homedco dan Abbey Healthcare Group memutuskan, daripada
meneruskan persaingan, lebih baik mereka memperkuat posisi pasar mereka dengan
penggabungan untuk menciptakan sebuah perusahaan besar menjadi Apria Healthcare
Group. Bersama-sama mereka merencanakan untuk memperluas pelayanan kesehatan
mereka sebagai pengaruh dari perluasan pelayanan yang telah dikelola. Tiga
tahun kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot sebesar 25%, dan
penghasilan menurun. Sejauh mana kemerosotan Apria merupakan bukti yang cepat ;
ketika usaha mulai mencari perusahaan lain untuk mengambil –alih perusahaan, hanya
beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini terutama karena oleh
masalah operasional yang disebabkan oleh merger. Masalah masalah tersebut tidak
dapat diselesaikan karena konflik internal yang terjadi antara bekas eksekutif
dan tenaga kerja Homedco dan Abbey Healthcare. Puncaknya, BOD, yang bahkan
terpisah dapat menerima keputusan untuk mengganti Timothy Aitken, yang semula
adalah CEO Abbey Healthcare, dengan Jeremy Jones dari Homedco untuk menjabat
sebagai CEO. Tampak nyata dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki
budaya organisasi yang sangat berbeda. Homedco memiliki struktur yang lebih
formal dengan pembuatan keputusan yang lebih terpusat, sedangkan Abbey
Healthcare pembuatan keputusan bersifat sangat desentralisasi dan manajer cabang
mempunyai wewenang yang sangat besar. Juga, penggabungan sistem komputer dan
penagihan dengan menggunakan sistem Abbey Healthcare berarti bahwa tenaga kerja
yang berasal dari Homedco harus mendapatkan pelatihan, dimana hal ini tidak
dapat terjadi begitu cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali kesalahan dalam
penagihan yang menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan yang tidak puas
yang diterima oleh departemen pelayanan pelanggan Apria. Untuk menghemat biaya
dan menghilangkan duplikasi tugas, lebih kurang 14% dari tenaga kerja pada
perusahaan yang digabungkan tersebut kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, jumlah
terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya merupakan tenaga kerja
Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di perusahaan, tampak bahwa kebanyakan
manajer Homedco tidak terpengaruh dibandingkan dengan yang dialami manajer
Abbey Healthcare. Sebagai contoh, hanya ada 6 dari 21 manajer regional yang
sebelumnya mereka bekerja untuk Abbey Healthcare, di mana dalam hal ini
mengakibatkan kebanyakan perwakilan penjualan Abbey yang mempunyai kinerja yang
baik memilih keluar dari perusahaan. Bahkan perubahan beberapa peraturan dasar
Sumber Daya Manusia telah menimbulkan masalah. Contohnya, ketika peraturan
Sumber Daya Manusia Homedco digunakan di kantor Abbey, kode yang baru dan
prosedur penyimpanan data mengganggu beberapa tenaga kerja yang merupakan
tenaga kerja Abbey sebelumnya. Sehingga mengakibatkan banyak sekali dari mereka
yang meninggalkan perusahaan pada tahun pertama penggabungan. Karena tingkat
konflik yang sangat hebat menyebabkan tenaga kerja dari satu perusahaan
menganggap mereka yang berasal dari perusahaan lain adalah “orang bodoh” dan
menolak untuk membalas menelepon kembali tenaga kerja dari perusahaan lain.
Akhirnya, baik Aitken maupun Jones meninggalkan perusahaan, dan tim eksekutif
yang baru berjuang untuk membangun kembali Apria. Bukannya menjadi merger yang
sehat, malahan menciptakan “merger dari neraka”. Sayangnya, situasi ini
bukanlah hal yang tabu, budaya konflik serupa juga telah melenyapkan
keefektivan merger oleh perusahaan dalam bidang industri yang lain. Salah satu
contoh adalah merger antara dua lembaga keuangan yaitu Society Corp. dan Key
Corporation (Key Corp.). Sejak merger, perusahaan yang di gabungkan tersebut telah
mengalami pertumbuhan hanya separuh dari pertumbuhan bank yang lain dalam
ukuran perusahaan yang sama dan telah mengurangi tenaga kerja sebanyak 5.000
orang. Pada kasus ini, sama seperti kasus Apria, membuktikan bahwa masalah
ketidakharmonisan Sumber Daya Manusia dan budaya organisasi dapat menghancurkan
nilai suatu merger yang tampak logis dari perspektif bisnis strategi yang luas.
B. Analisis Kasus
Melihat dari masalah yang terjadi di
atas, salah satunya adalah mengenai penggabungan dari 2 budaya organisasi yang
berbeda. Masalah tersebut sering terjadi kepada perusahaan-perusahaan yang
melakukan penggabungan atau merger perusahaan. Perbedaan 2 budaya menjadi satu
tersebut malah membuat perusahaan memiliki penurunan dalam pasar. Oleh karena itu,
seharusnya perusahaan tersebut harus menciptakan kembali suatu budaya
organisasi yang etis agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal
tersebut harus dimulai dari pimpinan (CEO) perusahaan tersebut. Pemimpin
seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang baik, dan tidak memihak
kepada perusahaannya terdahulu sebelum di merger tersebut, pimpinan harus dapat
menjadi penengah dan memberikan peran yang baik di depan para karyawannya,
sehinga hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua karyawannya.
Kemudian pimpinan mengkomunikasikan kembali harapan harapan yang etis yaitu
berupa kode etik organisasi. Kode etik tersebut tentu saja harus menyatakan
nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi oleh
para karyawan. Pemimpin juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti
seminar, loka karya dan yang lain-lain yang nantinya dapat memperkuat standar
tuntutan organisasi, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan
untuk dilakukan di dalam organisasi. Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata
memberikan penghargaaan kepada karyawan yang menjunjung tinggi kode etik
tersebut, dan memberikan hukuman kepada karyawan yang melanggar, dengan begitu
akan membuat karyawan untuk selalu menjunjung tinggi kode etik dari budaya
organisasi tersebut. Terakhir pemimpin dapat mengadakan mekanisme formal di
dalam organisasi yang dapat mengurusi perihal kode etik tersebut. Sehingga
karyawan dapat melaporkan hal-hal yang terjadi dalam perusahaan yang melanggar
kode etik tersebut dan ditindaklanjuti. Dengan beberapa tindakan yang dapat
dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam menciptakan kembali budaya organisasi,
dapat membuat perusahaan tersebut berjalan kembali dengan lancar dan tidak ada
lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua perusahaan yang telah di merger
tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan
teori-teori di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma
perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai
dasar aturan perilaku di dalam organisasi.
2. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara:
Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan
seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri.
3. Terdapat 7 karakteristik dalam organisasi, yaitu:
orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan,
kemantapan/stabilitas, inovasi dan keberanian mengambil resiko, dan perhatian
pada hal-hal yang lebi rinci.
4. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang
pemimpin untuk menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model
peran yang visible, mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada
karyawan, memberikan pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis
dan hukuman terhadap tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan
mekanisme perlindungan. B. Saran- Saran Saran yang penulis berikan dalam kajian
budaya organisasi adalah bahwa budaya dalam organisasi seharusnya dapat
dijunjung tinggi dan dijaga di dalam suatu organisasi. Sebab tanpa adanya
budaya organisasi yang baik, suatu organisasi akan banyak memiliki suatu
kesalahpahaman sehingga kegiatan organisasi tersebut akan berjalan kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar